ISLAM DI KALIMANTAN:
PERANAN PENGUASA DAN ULAMA DALAM PENYIARAN ISLAM
Oleh: Devi Rosalina, Joko Triono, Putriana Abdulazis*
“Jika tidak
karena pengaruh dan didikan agama Islam, maka
patriotisme
bangsa Indonesia tidak akan sehebat seperti yang diperlihatkan oleh
sejarah bangsa Indonesia hingga mencapai kemerdekaan[1].”
A. Pendahuluan
Islamisasi massal di
Asia Tenggara terjadi pada abad ke-12 ketika para guru sufi pengembara dari
wilayah Arabia masuk ke asia tenggara dan memperkenalkan islam pada masyarakat
lokal serta penguasa. Hasilnya, pada abad ke-13 sampai abad ke-16, mulai muncul
kerajaan bercorak islam. Islam mudah diterima penduduk asli asia tenggara
karena agama tersebut telah diterima oleh para pembesar kerajaan, disamping
sikap islam yang mau berasimilasi dengan adat-istiadat lokal.
Kemakmuran-kerajaaan-kerajaan
islam nusantara dan meningkatnya intensitas pelayaran kapal-kapal melintasi
lautan hindia membuat semakin banyak orang islam yang menuntut ilmu ke arabia,
khususnya ke mekah. Dengan menumpang kapal-kapal dagang yang dimiliki
kesultanan-kesultanan, kebanyakan dari mereka pergi ke Hijaz untuk menunaikan
ibadah haji di mekah[2]. Mereka, setelah kembali ke tanah air, berperan
penting bagi perkembangan islam di asia tenggara. Berkembangnya intelektualisme
pada abad ke-17 dan 18 di kawasan ini menyebabkan masa itu disebut sebagai
“masa emas intelektualisme”.
Kedatangan kolonialisme
Eropa di Asia Tenggara membawa pengaruh bagi perkembangan islam, baik dari segi
ekonomi maupun politik. Masa itu juga mempengaruhi proses islamisasi karena
masuknya kristen. Meskipun demikian, dari segi jumlah penganutnya, wilayah asia
tenggara tetap merupakan wilayah konsentrasi muslim terbesar kedua di benua
asia, setelah asia selatan[3].
B. Kedatangan Islam dan Perkembangannya di Kalimantan Selatan
Seperti tempat-tempat
lain di Nusantara, telaah-telaah islam di kalimantan selama ini terutama hanya
memusatkan perhatian pada masalah-masalah kapan, bagaimana, dan darimana Islam
memasuki wilayah ini; hampir tidak ada pembahasan mengenai pertumbuhan
lembaga-lembaga islam dan tradisi keilmuan di kalangan penduduk muslimnya[4].
Di Kalimantan Selatan pada abad XVI M masih ada beberapa kerajaan Hindu
antara lain Kerajaan Banjar, Kerajaan Negaradipa, Kerajaan Kahuripan dan
Kerajaan Daha[5].
Kerajaan-kerajaan ini berhubungan erat dengan Majapahit. Ketika Kerajaan Demak
berdiri, para pemuka agama di Demak segera menyebarkan agama Islam ke
Kalimantan Selatan. Raja
Banjar Raden Samudra masuk Islam dan ganti nama dengan Suryanullah[6].
Sultan Suryanullah dengan bantuan Demak dapat mengalahkan Kerajaan Negaradipa.
Setelah itu agama Islam semakin berkembang di Kalimantan. Kutai adalah kerajaan tertua di Indonesia dan
sebagai kerajaan Hindu. Dengan pesatnya perkembangan Islam di Gowa, Tallo dan
terutama Sombaopu, maka Islam mulai merembas ke daerah Kutai. Mengingat Kutai
terletak di tepi Sungai Mahakam maka para pedagang yang lalu lalang lewat selat
Makasar juga singgah di Kutai. Sebagai muballigh mereka tidak menyianyiakan
waktu untuk berdakwah. Islam akhirnya dapat memasuki Kutai dan tersebar di Kalimantan
Timur mulai abad XVI[7].
Para ulama awal yang berdakwah di Sumatera dan Jawa melahirkan kader-kader dakwah yang terus menerus mengalir. Islam masuk ke Kalimantan atau yang lebih dikenal dengan Borneo[8] kala itu. Di pulau ini, ajaran Islam masuk dari dua pintu, yaitu
Jalur pertama yang membawa Islam masuk ke tanah Borneo adalah jalur Malaka yang dikenal sebagai Kerajaan Islam setelah Perlak dan Pasai. Jatuhnya Malaka ke tangan penjajah Portugis kian membuat dakwah semakin menyebar. Para mubaligh-mubaligh dan komunitas Islam kebanyakan mendiami pesisir Barat Kalimantan. Jalur kedua yang digunakan menyebarkan dakwah Islam adalah para mubaligh yang dikirim dari Tanah Jawa. Ekspedisi dakwah ke Kalimantan ini menemui puncaknya saat Kerajaan Demak[9] berdiri. Demak mengirimkan banyak mubaligh ke negeri ini. Perjalanan dakwah pula yang akhirnya melahirkan Kerajaan Islam Banjar dengan ulama-ulamanya yang besar, salah satunya adalah Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari.
Sangat mungkin sekali pemeluk Islam sudah ada sebelumnya di sekitar keraton yang dibangun di Banjarmasin, tetapi pengislaman secara massal diduga terjadi setelah raja, Pangeran Samudera yang kemudian dilantik menjadi Sultan Suriansyah, memeluk Islam diikuti warga kerabatnya, yaitu bubuhan raja-raja. Perilaku raja ini diikuti oleh elit ibukota, masing-masing disertai kelompok bubuhannya, dan oleh elit daerah, juga diikuti warga bubuhannya, dan demikianlah seterusnya sampai kepada bubuhan rakyat jelata di tingkat paling bawah.
Melalui hal ini, sangat dimungkinkan sekali bahwa Islam telah menjadi dasar agama dan mendarah daging di Kesultanan Banjar. Islam berkembang sangat pesat dan memperoleh tempat yang sepantasnya di bumi Banjar.
C. Sejarah Kesultanan Banjar: Peranannya dalam Menyebarkan Islam
Kesultanan Banjar atau Kesultanan Banjarmasin adalah sebuah kerajaan Islam yang berdiri di Kalimantan Selatan. Kerajaan ini pada mulanya berpusat di Banjarmasin[10], tetapi kemudiannya berpindah ke Martapura di Kabupaten Banjar. Banjar adalah penerus kerajaan Negara Daha, sebuah kerajaan Hindu yang beribu kota di kecamatan Daha Selatan. Ketika di Banjarmasin, Kesultanan ini mendapat nama Kesultanan Banjarmasin. Ketika awal abad ke 16, Kalimantan Selatan diperintah oleh kerajaan Negara Daha. Kerajaan Negara Daha merupakan kelanjutan dari Kerajaan Negara Dipa, kerajaan Hindu yang berkedudukan di kota Amuntai, Hulu Sungai Utara. Menurut Hikayat Banjar, Kerajaan ini semula dipimpin seorang Raja Puteri Junjung Buih yang kemudian menikah dengan seorang pangeran Majapahit, yaitu Pangeran Suryanata (Raden Putra). Sebelum Kerajaan Negara Dipa sudah berdiri sebelumnya Kerajaan Tanjung Puri, yang berada di kota Tanjung, Tabalong yang didirikan suku Melayu dan Kerajaan Nan Sarunai yang didirikan suku Dayak Maanyan di lembah sungai Tabalong. Kerajaan Nan Sarunai masih merupakan kerajaan satu etnik tertentu saja (Maanyan), sedangkan Kerajaan Negara Dipa merupakan kerajaan multi-etnik pertama di daerah ini
Di daerah-daerah taklukkanya, sebuah pajak atau cukai haruslah dibayar oleh kerajaan daerah itu kepada raja Daha. Ini menyebabakan daerah Banjarmasin berkeinginan untuk keluar daripada pengaruh Daha. Ketua daerah Banjarmasin, Patih Masih, kemudiannya berbincang dengan ketua daerah lain iaitu Patih Balit, Patih Muhur, Patih Balitung dan Patih Kuwin untuk memerdekakan daerah mereka daripada kerajaan Daha. Mereka kemudiannya berpakat untuk meminta tolong daripada Raden Samudera, seorang cucu Maharaja Sukarama; seorang raja Daha. Raden Samudera ketika itu sedang dalam penyembunyian di daerah Muara Barito kerana ancaman bapa saudaranya, Pangeran Tumenggung yang ketika itu adalah raja Daha. Dibawah pimpinan Raden Samudera, tercetuslah pemberontakan Banjar ini dengan bantuan Kesultanan Demak dari Jawa.
Setelah berjaya menumpaskan kerajaan Daha, Raden Samudera memeluk Islam dan memakai gelaran Sultan Suriansyah dan dimahkotakan sebagai sultan Banjar pertama[11]. Sultan ini juga digelari Panembahan Batu Habang atau Susuhunan Batu Habang, yang dinamakan berdasarkan warna merah (habang) pada batu yang menutupi makamnya di Komplek Makam Sultan Suriansyah di kecamatan Banjarmasin Utara, Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Raden Samudera adalah putera dari Puteri Galuh (Ratu Intan Sari) puteri dari Maharaja Sukarama dari Kerajaan Negara Daha. Nama "Suriansyah" sering dipakai sebagai nama anak laki-laki suku Banjar atau orang Melayu-Kalimantan.
Kemenangan Raden Samudera atas Pangeran Tumenggung pada abad XVI merupakan suatu perwujudan terjadinya pergeseran politik dari negara yang ekonominya berbasiskan agraris (Daha) kepada negara yang bersifat maritim[12], dan Islam dijadikan sebagai agama negara. Sebenarnya Demak memang secara politis merasa berkepentingan untuk membantunya sebab dari segi strategi kerjasama dengan Banjarmasin akan dapat membendung ekspansi Portugis yang dengan perlengkapan perangnya berusaha menempatkan kekuasaannya antara Malaka sampai ke Maluku. Ulama yang mendampingi Raden samudra yang bergelar Suryanullah atau Suryansyah adalah ulama dari demak yang dikenal dengan sebutan Khatib Dayan[13]. Penyebaran Islam di daerah ini rupanya tidak disertai dengan usaha menyebarkan pengetahuan keislaman kepada rakyat jelata sampai kehadiran Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari kembali ke Makkah pada tahun 1772. Penyebaran Islam di daerah Banjar diteruskan ke Sukadana juga pada tahun 1550.
Para ulama awal yang berdakwah di Sumatera dan Jawa melahirkan kader-kader dakwah yang terus menerus mengalir. Islam masuk ke Kalimantan atau yang lebih dikenal dengan Borneo[8] kala itu. Di pulau ini, ajaran Islam masuk dari dua pintu, yaitu
Jalur pertama yang membawa Islam masuk ke tanah Borneo adalah jalur Malaka yang dikenal sebagai Kerajaan Islam setelah Perlak dan Pasai. Jatuhnya Malaka ke tangan penjajah Portugis kian membuat dakwah semakin menyebar. Para mubaligh-mubaligh dan komunitas Islam kebanyakan mendiami pesisir Barat Kalimantan. Jalur kedua yang digunakan menyebarkan dakwah Islam adalah para mubaligh yang dikirim dari Tanah Jawa. Ekspedisi dakwah ke Kalimantan ini menemui puncaknya saat Kerajaan Demak[9] berdiri. Demak mengirimkan banyak mubaligh ke negeri ini. Perjalanan dakwah pula yang akhirnya melahirkan Kerajaan Islam Banjar dengan ulama-ulamanya yang besar, salah satunya adalah Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari.
Sangat mungkin sekali pemeluk Islam sudah ada sebelumnya di sekitar keraton yang dibangun di Banjarmasin, tetapi pengislaman secara massal diduga terjadi setelah raja, Pangeran Samudera yang kemudian dilantik menjadi Sultan Suriansyah, memeluk Islam diikuti warga kerabatnya, yaitu bubuhan raja-raja. Perilaku raja ini diikuti oleh elit ibukota, masing-masing disertai kelompok bubuhannya, dan oleh elit daerah, juga diikuti warga bubuhannya, dan demikianlah seterusnya sampai kepada bubuhan rakyat jelata di tingkat paling bawah.
Melalui hal ini, sangat dimungkinkan sekali bahwa Islam telah menjadi dasar agama dan mendarah daging di Kesultanan Banjar. Islam berkembang sangat pesat dan memperoleh tempat yang sepantasnya di bumi Banjar.
C. Sejarah Kesultanan Banjar: Peranannya dalam Menyebarkan Islam
Kesultanan Banjar atau Kesultanan Banjarmasin adalah sebuah kerajaan Islam yang berdiri di Kalimantan Selatan. Kerajaan ini pada mulanya berpusat di Banjarmasin[10], tetapi kemudiannya berpindah ke Martapura di Kabupaten Banjar. Banjar adalah penerus kerajaan Negara Daha, sebuah kerajaan Hindu yang beribu kota di kecamatan Daha Selatan. Ketika di Banjarmasin, Kesultanan ini mendapat nama Kesultanan Banjarmasin. Ketika awal abad ke 16, Kalimantan Selatan diperintah oleh kerajaan Negara Daha. Kerajaan Negara Daha merupakan kelanjutan dari Kerajaan Negara Dipa, kerajaan Hindu yang berkedudukan di kota Amuntai, Hulu Sungai Utara. Menurut Hikayat Banjar, Kerajaan ini semula dipimpin seorang Raja Puteri Junjung Buih yang kemudian menikah dengan seorang pangeran Majapahit, yaitu Pangeran Suryanata (Raden Putra). Sebelum Kerajaan Negara Dipa sudah berdiri sebelumnya Kerajaan Tanjung Puri, yang berada di kota Tanjung, Tabalong yang didirikan suku Melayu dan Kerajaan Nan Sarunai yang didirikan suku Dayak Maanyan di lembah sungai Tabalong. Kerajaan Nan Sarunai masih merupakan kerajaan satu etnik tertentu saja (Maanyan), sedangkan Kerajaan Negara Dipa merupakan kerajaan multi-etnik pertama di daerah ini
Di daerah-daerah taklukkanya, sebuah pajak atau cukai haruslah dibayar oleh kerajaan daerah itu kepada raja Daha. Ini menyebabakan daerah Banjarmasin berkeinginan untuk keluar daripada pengaruh Daha. Ketua daerah Banjarmasin, Patih Masih, kemudiannya berbincang dengan ketua daerah lain iaitu Patih Balit, Patih Muhur, Patih Balitung dan Patih Kuwin untuk memerdekakan daerah mereka daripada kerajaan Daha. Mereka kemudiannya berpakat untuk meminta tolong daripada Raden Samudera, seorang cucu Maharaja Sukarama; seorang raja Daha. Raden Samudera ketika itu sedang dalam penyembunyian di daerah Muara Barito kerana ancaman bapa saudaranya, Pangeran Tumenggung yang ketika itu adalah raja Daha. Dibawah pimpinan Raden Samudera, tercetuslah pemberontakan Banjar ini dengan bantuan Kesultanan Demak dari Jawa.
Setelah berjaya menumpaskan kerajaan Daha, Raden Samudera memeluk Islam dan memakai gelaran Sultan Suriansyah dan dimahkotakan sebagai sultan Banjar pertama[11]. Sultan ini juga digelari Panembahan Batu Habang atau Susuhunan Batu Habang, yang dinamakan berdasarkan warna merah (habang) pada batu yang menutupi makamnya di Komplek Makam Sultan Suriansyah di kecamatan Banjarmasin Utara, Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Raden Samudera adalah putera dari Puteri Galuh (Ratu Intan Sari) puteri dari Maharaja Sukarama dari Kerajaan Negara Daha. Nama "Suriansyah" sering dipakai sebagai nama anak laki-laki suku Banjar atau orang Melayu-Kalimantan.
Kemenangan Raden Samudera atas Pangeran Tumenggung pada abad XVI merupakan suatu perwujudan terjadinya pergeseran politik dari negara yang ekonominya berbasiskan agraris (Daha) kepada negara yang bersifat maritim[12], dan Islam dijadikan sebagai agama negara. Sebenarnya Demak memang secara politis merasa berkepentingan untuk membantunya sebab dari segi strategi kerjasama dengan Banjarmasin akan dapat membendung ekspansi Portugis yang dengan perlengkapan perangnya berusaha menempatkan kekuasaannya antara Malaka sampai ke Maluku. Ulama yang mendampingi Raden samudra yang bergelar Suryanullah atau Suryansyah adalah ulama dari demak yang dikenal dengan sebutan Khatib Dayan[13]. Penyebaran Islam di daerah ini rupanya tidak disertai dengan usaha menyebarkan pengetahuan keislaman kepada rakyat jelata sampai kehadiran Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari kembali ke Makkah pada tahun 1772. Penyebaran Islam di daerah Banjar diteruskan ke Sukadana juga pada tahun 1550.
Sejarah Banjarmasin mulai
dari sultan suryansyah dan selanjutnya pada masa pra-kolonial dipenuhi oleh
pertentangan yang kronis, terutama diantara anggota-anggota keluarga raja.
Kebencian, iri hati, ketamakan, dan lapar kekuasaan yang mendorong terbentuknya
persekongkolan-persekongkolan politik merupakan sebab-sebab terjadinya friksi,
pembunuhan manusia, atau pembunuhan kepala negara yang dilakukan oleh pengikut
raja-raja sendiri sendiri yang berlangsung tanpa sanksi hukuman[14].
Konflik semacam ini umumnya berlangsung diantara kemenakan dan paman,
saudara-saudara tiri, atau bahkan diantara saudara sekandung. Pangeran samudera
vs pangeran temenggung pada abad ke-16.
pangeran Amir melawan Panembahan Nata pada abad ke-18, Pangeran
Hidayatullah berseteru dengan Pangeran Tamjidillah pada abad ke-19 adalah
beberapa contoh dari pergulatan-pergulatan semacam itu. Sebagian besar dari
konflik itu mengundang campur tangan asing yang akan menangguk di air keruh.
Kerajaan Banjar yang berkembang sampai abad ke-19 merupakan sebuah kerajaan Islam merdeka dengan nation atau bangsa Banjar sebagai bangsa dari Kerajaan Banjar. Pada akhir abad ke-19 ekspansi kolonial Belanda berhasil menguasai Kerajaan Banjar dan secara sepihak mengumumkan Proklamasi Penghapusan Kerajaan Banjarmasin pada tanggal 11 Juni 1860. Wilayah kerajaan yang berhasil dikuasainya dijadikan Karesidenan Afdelling Selatan dan Timur Borneo (Residentie Zuider en Oosterafdeling van Borneo). Sejak itulah bangsa Banjar turun derajatnya menjadi bangsa jajahan. Mereka tidak lagi disebut sebagai suatu nation akan tetapi hanya sebagai Urang Banjar.
Kerajaan Banjar yang berkembang sampai abad ke-19 merupakan sebuah kerajaan Islam merdeka dengan nation atau bangsa Banjar sebagai bangsa dari Kerajaan Banjar. Pada akhir abad ke-19 ekspansi kolonial Belanda berhasil menguasai Kerajaan Banjar dan secara sepihak mengumumkan Proklamasi Penghapusan Kerajaan Banjarmasin pada tanggal 11 Juni 1860. Wilayah kerajaan yang berhasil dikuasainya dijadikan Karesidenan Afdelling Selatan dan Timur Borneo (Residentie Zuider en Oosterafdeling van Borneo). Sejak itulah bangsa Banjar turun derajatnya menjadi bangsa jajahan. Mereka tidak lagi disebut sebagai suatu nation akan tetapi hanya sebagai Urang Banjar.
Dalam perkembangan sejarah berikutnya pada Tahun 1859 seorang Bangsawan
Banjar yaitu Pangeran Antasari[15]
mengerahkan rakyat Kalimantan Selatan untuk melakukan perlawanan terhadap kaum
kolonialisme Belanda meskipun akhirnya pada Tahun 1905 perlawanan-perlawanan
berhasil ditumpas oleh Belanda[16].
Pada periode pasca Proklamasi Kemerdekaan merupakan momentum yang paling heroik
dalam sejarah Kalimantan Selatan, dimana pada tanggal 16 Oktober 1945 dibentuk
Badan Perjuangan yang paling radikal yaitu Badan Pemuda Republik Indonesia
Kalimantan (BPRIK) yang dipimpin oleh Hadhariyah M. dan A. Ruslan, namun dalam
perjalanan selanjutnya gerakan perjuangan ini mengalami hambatan, terutama
dengan disepakatinya perjanjian Linggarjati pada tanggal 15 Nopember 1945.
Berdasarkan perjanjian ini ruang gerak pemerintah Republik Indonesia menjadi
terbatas hanya pada kawasan Pulau Jawa, Madura dan Sumatera sehingga organisasi-organisasi
perjuangan di Kalimantan Selatan kehilangan kontak dengan Jakarta, kendati
akhirnya pada tahun 1950 menyusul pembubaran Negara Indonesia Timur yang
dibentuk oleh kaum kolonial Belanda, maka Kalimantan Selatan kembali menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari Republik Indonesia sampai saat ini.
D. Peranan Ulama dan Pembentukan
Tradisi Intelektual di Kalimantan Selatan
Tradisi intelektual umumnya mengacu
kepada proses transmisi keislaman, pmbentukan wacana intelektual, yang alam
proses selanjutnya menjadi tradisi yang dikembangkan dan dipelihara secara
terus-menerus[17].
Ulama menduduki posisi utama,
bukan saja dalam bidang keagamaan tetapi juga dalam bidang sosial-politik dan
budaya. Dalam bidang keagamaan, ulama adalah penafsir yang sah atas ajaran
islam dan selanjutnya menentukan corak keagamaan suatu masyarakat. Dalam bidang
sosial-politik dan budaya, ulama merupakan elit sosial, kedudukan yang
disandangnya sejalan dengan perannya di bidang keagamaan. Selain memainkan
peran seperti diatas, mereka juga adalah pemimpin lembaga sosial keagamaan,
seperti pesantren, surau, dan tarekat. Dengan semua peran ini ulama memainkan
pengaruh besar dalam kehidupan masyarakat islam[18].
1)
Muhammad Arsyad Al-Banjari (Riwayat Hidup
dan Pemikirannya)
Muhammad arsyad
al-banjari[19](1122-1227/1710-1812)
merupakan ulama pertama yang mendirikan lembaga-lembaga islam serta
memperkenalkan gagasan-gagasan keagamaan baru di kalimantan selatan.
Muhammad
arsyad al-banjari dilahirkan di Martapura, Kalimantan Selatan, Muhammad ’Arsyad
mendapatkan pendidikan dasar keagamaannya di desanya sendiri, dari ayahnya dan
para guru setempat, sebab tidak ada bukti bahwa atau pesantren telah berdiri
pada masa itu di wilayah tersebut. Ketika dia berumur tujuh tahun, dia
diriwayatkan bahwa dia telah mampu membaca Al-Qur’an secara sempurna. Dia
menjadi terkenal karena hal ini, sehingga mendorong sultan Tahlilullah
(1112-58/1700-45) untuk mengajaknya beserta keluarganya tinggal di istana
sultan. Di kemudian hari, sultan menikahkannya dengan seorang wanita; tetapi
ketika istrinya mengandung, dia mengirim Muhammad Arsyad ke Haramayn guna
menuntut ilmu lebih lanjut atas biaya Kesultanan. Sultan tampaknya
mengongkosinya dengan murah hati; Muhammad Arsyad bahkan mampu membeli sebuah
rumah di daerah Syamiyah, Makkah, yang masih dipertahankan para imigran Banjar
sampai waktu belakangan ini[20].
Guru-guru muhammad arsyad yang dikenal adalah al-sammani, al-damanhuri, slayman
al-kurdi, dan atha athaillah al-mashri. Ada kemungkinan dia belajar dengan
guru-guru lain, terutama dengan ibrahim al-rais al-zamzami, yang darinya
muhammad arsyad boleh jadi mempelajari ilm al-falak (astronomi), bidang yang
menjadikannay salah seorang ahli paling menonjol diantara para ulama
melayu-indonesia.
Mempertimbangkan
karya-karya dan kegiatan-kegiatanya setelah kembali ke nusantara, kita dapat
berasumsi bahwa muhammad arsyad adalah seorang ahli dalah bidang fiqih atau
syariat, terutama adanya fatwa bahwa bukunya yang paling termasyhur, yang
berjudul sabil al-muhtadin adalah buku fikih. Tetapi, ini tidak lantas berarti,
dia tidak menguasai tasawuf; diketahui bahwa dia juga menulis sebuah karya
berjudul kanz al-ma’rifah, yang
membahas tentang tasawuf. Jadi, muhammad arsyad mendapatkan keahlian dalam ilmu
lahir (al-zhahir) maupun ilmu batin (al-bathin), atau seperti ditulis
steenbrink, dia telah menguasai fikih dan tasawuf[21].
muhammad arsyad menerima tarekat sammaniyah dari al-sammani, dan dia dianggap
sebagai ulama paling bertanggung jawab atas tersebarnya tarekat sammaniyah di
kalimantan.
Muhammad
arsyad belajar sekitar tiga puluh tahun di makkah dan lima puluh tahun di
madinah bersama beberapa murid melayu indonesia lainnya. Beberapa tahun sebelum
dia kembali ke nusantara, diriwayatkan dia mulai mengajar murid-murid di
masjidil haram, makkah. Namun, muhammad arsyad merasakan belum mendapatkan
pengetahuan yang memadai. Bersama dengan al-palimbani, abd al-rahman al-batawi,
dan abdul wahhab al-bugisi, dia meminta izin guru mereka, athaillah al-mashri,
untuk menambah pengetahuan di kairo. Meski menghargai niat baik mereka,
athailah menyarankan jauh lebih baik bagi mereka kembali ke nusantara, sebab
dia percaya mereka telah memiliki pengetahuan yang lebih dari cukup, yang dapat
mereka mamfaatkan untuk mengajar di tanah air mereka. Bagaimanapun, mereka
tetap memutuskan pergi ke kairo, tetapi hanya untuk berkunjung, dan bukan untuk
belajar[22].
Muhammad arsyad mempertahankan kontak dan komunikasi secara terus-menerus
dengan tanah airnya sementara dia berada di haramayn, sehingga dia selalu
mendapatkan informasi tentang perkembangan islam di sana. Dalam hubungan ini,
Sang sultan, dia mendengar, menerapkan hukuman denda yang berat kepada rakyat
muslimnya yang tidak menjalankan shalat jum’at secara berjamaah. dia
diriwayatkan meminta pendapat gurunya, sulayman al-kurdi, mengenai beberapa
pajakkebijaksanaan agama sultan banjar. Muhammad arsyad juga meminta sulayman
al-kurdi menjelaskan perbedaan antara zakah dengan pajak, sebab sulan banjar
telah mewajibkan penduduk membayar pajak dan bukannya zakah[23].
sayang sekali, kita tidak mendapatkan informasi mengenai tanggapan sulayman
al-kurdi atas pertanyaan-pertanyaan ini, tetapi riwayat ini mencerminkan
perhatian besar muhammad arsyad terhadap penerapan yang benar atas
ajaran-ajaran syariat.
Muhammad arsyad bersama abd al-rahman
al-batawi al-mashri dan abd al-wahhab al-bugisi kembali ke nusantara pada
1186/1773. sebelum dia pergi ke banjarmasin, atas permintaan al-batawi,
muhammad arsyad tinggal di batavia selama dua bulan. Meski dia tinggal di
batavia hanya dalam waktu yang relatif singkat, dia mampu melancarkan pembaruan
penting bagi kaum muslim batavia. Dia membetulkan arah kiblah beberapa mesjid
di batavia. Menurut perhitungannya, qiblah di mesjid-mesjid di jembatan lima
dan pekojan, batavia, tidak diarahkan secara benar menuju ka’bah dan,
karenanya, harus diubah. Ini menimbulkan kontroversi di kalangan para pemimpin
muslim di batavia, dan akibatnya gubernur jendral belanda memanggil muhammad
arsyad untuk menjelaskan masalah itu. Sang gubernur, yang terkesan akan perhitungan matematis
muhammad arsyad, dengan senang hati memberinya beberapa hadiah[24].
Semangat
pembaruan dalam pribadi muhammad arsyad untuk memperkenalkan gagasan-gagasan
dan lembaga-lembaga keagamaan yang baru juga tampak jelas setelah dia kembali
ke martapura, kalimantan selatan. Salah satu hal pertama yang dilakukannya
setelah kedatangannya adalah mendirikan lembaga pendidikan islam yang sangat penting
untuk mendidik kaum muslim guna meningkatkan pemahamann mereka atas
ajaran-ajaran dan praktik-praktik islam.
Untuk tujuan itu, muhammad arsyad meminta sultan tahmid allah II
(1187-1223/1773-1808) memberinya sebidang besar tanah tak terpakai di luar
ibukota kesultanan. Dia dan abd wahab al-bugisi, yang kini menikah dengan putri
muhammad arsyad, membangun sebuah pusat pendidikan islam, yang serupa
ciri-cirinya dengan surau di sumatra barat atau pesantren di jawa. Sepeti
kebanyakan surau dan pesantren, pusat pengetahuan muhammad arsyad terdiri atas
ruangan-ruangan untuk kuliah, pondokan para murid, rumah para guru, dan
perpustakaan. Pusat ini secara ekonomis dapat membiayai dirinya sendiri, sebab
muhammad arsyad bersama dengan beberapa guru dan murid mengolah tanah di
lingkungan itu menjadi sawah dan kebun kebun sayuran. Tak lama kemudian, pusat
itu telah menjadikan dirinya sebagai locus paling penting untuk melatih para
murid yang kemudian hari menjadi ulama terkemuka di kalangan masyarakat di
kalimantan[25]. Muhammad
arsyad mengambil langkah penting lain untuk menguatkan islamisasi di wilayahnya
dengan jalan memperbarui administrasi keadilan di kesultanan banjar. Di samping
menjadikan doktrin-doktrin hukum islam
sebagai acuan terpenting dalam pengadilan kriminal, muhammad arsyad, dengan
dukungan sultan, mendirikan pengadilan islam terpisah untuk mengurus
masalah-masalah hukum sipil murni. Dia juga memprakarsai diperkenalkannya
jabatan mufti, yang bertanggungjawab mengeluarkan fatwa-fatwa mengenai
masalah-masalah keagamaan dan sosial[26].
Dengan prakarsa ini, Muhammad Arsyad berusaha menjalankan hukum islam di
wilayah kekuasaan kesultanan banjar.
Karya[27]
utama Muhammad Arsyad adalah sabil al-nuhtadin li al-tafaqquh fi ’amr al-din
yang merupakan salah satu karya utama dalam bidang fiqih dunia melayu setelah
diselesaikannya al-shirat al-mustaqim oleh ar-raniri dan mir’at al-thullab oleh
al-sinkili. Sebagaimana dinyatakan muhammad arsyad dalam catatan pendahulunnya,
dia mulai menulis al-shirat al-mustaqim pada 1139/1779 atas permintaan sultan
tahmidillah. Karya ini diselesaikan pada 1195/1781. dia terbagi atas dua jilid,
terdiri atas sekitar lima ratus halaman. Kitab ini membahas aturan-aturan rinci
aspek ibadah (ritual) dalam fikih.pada dasarnya karya itu merupakan penjelasan,
atau sampai batas tertentu adalah revisi, atas karya al-raniri al-shirat
al-mustaqim yang menggunakan banyak istilah dalam bahasa aceh yang hampir tidak
dapat dipahami para ulama dan masyarakat
melayu-indonesia di wilayah-wilayah laindi nusantara[28].
Sabil Al-Muhtadin, yang dicetak beberapa kali di Makkah, Kairo, Istambul dan
beberapa tempat di Nusantara, sangat populer di kalangan Melayu-Indonesia, dan
masih digunakan di banyak wilayah di Nusantara. Kepopuleran
tulisan Muhammad Arsyad menunjukkan, bahwa karya-karya yang menjelaskan
ajaran-ajaran hukum Islam benar-benar dibutuhkan kaum muslim Melayu Indonesia sebagai petunjuk praktis dalam kehidupan
mereka sehari-hari. Ini juga menunjukkan kenyataan bahwa kaum muslim di
nusantara mempunyai minat sangat besar pada hukum islam dan tidak hanya
tertarik pada mistisisme Islam, sebagai diasumsikan beberapa sarjana[29].
Beliau meninggal dunia pada malam Selasa yaitu di antara waktu Maghrib dan Isyak, pada 6 Syawal 1227 Hijrah bersamaan 13 Oktober 1812 Masehi. Beliau meninggal dunia pada usia 105 tahun dengan meninggalkan sumbangan yang besar terhadap masyarakat Islam di Nusantara
Beliau meninggal dunia pada malam Selasa yaitu di antara waktu Maghrib dan Isyak, pada 6 Syawal 1227 Hijrah bersamaan 13 Oktober 1812 Masehi. Beliau meninggal dunia pada usia 105 tahun dengan meninggalkan sumbangan yang besar terhadap masyarakat Islam di Nusantara
2). Abdul Wahhab Al-Bugisi
Syekh Abdul Wahab bertemu
dengan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari di Madinah, dalam majelis ilmu gurunya
(yang kemudian juga menjadi guru Syekh Muhammad Arsyad), Syekhul Islam, Imamul
Haramain Alimul Allamah Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi[30].
Jika Syekh Muhammad Arsyad (dan Syekh Abdus Samad al-Palimbani) lebih banyak
menggunakan waktu mereka untuk menuntut ilmu di kota Mekkah (selama 30 tahun)
dan Madinah (selama 5 tahun), maka Abdul Wahab (bersama dengan Syekh
Abdurrahman Misri) lebih banyak memanfaatkan waktu mereka untuk menuntut ilmu
di Mesir.
Kedatangan Abdul Wahab ke Tanah Banjar seiring dengan
kepulangan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari setelah menuntut ilmu di Mekkah dan
Madinah selama lebih kurang 35 tahun, yakni pada tahun 1772 M. Pada saat itu
yang memerintah di kerajaan Banjar adalah Pangeran Nata Dilaga bin Sultan
Tamjidullah, sebagai wali putera mendiang Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah
(1761-1787 M), yang kemudian sejak tahun 1781-1801 secara resmi memerintah
sebagai raja Banjar dan bergelar Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidullah.
Abdul
Wahab mengikuti Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari setelah dinikahkan dengan Syarifah[31]. Tekad Abdul Wahab[32] yang bulat untuk memperjuangkan dakwah Islam dan mengamalkan ilmu
yang telah didapat ketika belajar di Mesir dan di Madinah, serta ikrar yang ia
ucapkan bersama teman-temannya tatkala ingin kembali ke tanah air, semakin
menguatkan keinginannya untuk mengabdikan ilmu dan baktinya di Tanah Banjar.
Perjuangan utama Abdul Wahab Di Tanah Banjar sendiri adalah membantu Syekh Muhammad Arsyad mendakwahkan Islam di wilayah kerajaan Banjar yang waktu itu belum begitu berkembang. Mulai dari mengajarkan Islam kepada keluarga kerajaan, mendidik kader-kader dakwah, sampai dengan membangun desa Dalam Pagar, yang kemudian berkembang menjadi pusat penyebaran dan pengajaran Islam di Kalimantan.
Perjuangan utama Abdul Wahab Di Tanah Banjar sendiri adalah membantu Syekh Muhammad Arsyad mendakwahkan Islam di wilayah kerajaan Banjar yang waktu itu belum begitu berkembang. Mulai dari mengajarkan Islam kepada keluarga kerajaan, mendidik kader-kader dakwah, sampai dengan membangun desa Dalam Pagar, yang kemudian berkembang menjadi pusat penyebaran dan pengajaran Islam di Kalimantan.
Pertama, mengajarkan agama Islam
kepada kaum bangsawan dan keluarga kerajaan Banjar. Hal ini terlihat dari awal kedatangan Syekh
Muhammad Arsyad al-Banjari dan Abdul Wahab Bugis di tanah Banjar (Martapura)
pada bulan Ramadhan tahun 1208 H/1772 M yang disambut meriah oleh seluruh
komponen masyarakat Banjar, tidak hanya masyarakat biasa akan tetapi juga kaum
bangsawan dari kerajaan Banjar. Mengingat Syekh Muhammad Arsyad sendiri sudah
dianggap dan diakui sebagai bubuhan kerajaan, terlebih-lebih lagi manakala
mengetahui status Abdul Wahab yang juga seorang bangsawan, sehingga oleh pihak
kerajaan ia diberikan tempat untuk tinggal dalam istana. Menjadi guru agama di
Istana dan mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada bubuhan kerajaan.
Kedua, membantu Syekh Muhammad
Arsyad membuka perkampungan Dalam Pagar yang telah dihadiahkan oleh kerajaan
Banjar kepada beliau sebagai tanah lungguh. Mengingat tekad kuat dan ikrar
setia yang disampaikan oleh Abdul Wahab untuk mensyiarkan agama Islam di tanah
air, sesuai dengan pesan guru mereka ketika masih di kota Madinah, ia juga
aktif mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada masyarakat luas yang datang
berbondong-bondong ke Dalam Pagar yang sudah dikenal dan menjadi pusat
pendidikan serta penyiaran agama Islam pada masa itu.
Ketiga, Abdul
Wahab merupakan teman diskusi atau mudzakarah agama Syekh Muhammad Arsyad. Hal
ini terlihat dari adanya istilah-istilah tertentu dalam Bahasa Bugis –walaupun
dalam jumlah yang sangat kecil, dan untuk hal ini lebih jauh perlu dilakukan
penelitian dan pengkajian kembali melalui pendekatan Linguistik– pada penulisan
dan penyusunan risalah atau kitab-kitab yang ditulis oleh Syekh Muhammad Arsyad
al-Banjari, terutama Kitab Sabilal Muhtadin[33].
Keempat, untuk mendidik dan
membina kader-kader penerus dakwah Islam, Syekh Muhammad Arsyad telah membuka
daerah Dalam Pagar, mendirikan surau, rumah tempat tinggal sekaligus mandarasah
yang menjadi tempat untuk belajar masyarakat, mengkaji dan menimba ilmu,
sekaligus tempat untuk mendidik kader-kader dakwah. Syekh Muhammad Arsyad
al-Banjari bersama Abdul Wahab telah membangun sebuah pusat pendidikan Islam
yang serupa ciri-cirinya dengan surau di Padang Sumatera Barat, rangkang,
meunasah dan dayah di Aceh, atau pesantren di Jawa[34].
Perkembangan
dakwah Islam yang begitu menggembirakan, pada akhirnya memicu simpatik Sultan
Tahmidullah II bin Sultan Tamjidillah untuk memberikan keleluasaan kepada Syekh
Muhammad Arsyad untuk lebih memantapkan dan mengembangkan Islam di Tanah Banjar
secara melembaga, agar agama Islam benar-benar menjadi way of life, keyakinan dan
pegangan masyarakat Banjar khususnya, dan Kalimantan umumnya.
Sultan
Banjar berkeinginan pula untuk menertibkan dan menyempurnakan peraturan yang
telah dibuat berdasarkan hukum Islam, wadah atau badan yang menjaga agar
kemurnian hukum dapat diterapkan, dan yang lebih penting lagi adalah agar roda
pemerintahan di kerajaan benar-benar dapat dilaksanakan dengan baik sesuai
dengan tuntunan agama. Sehingga bermula dari sinilah kemudian timbul
lembaga-lembaga dan jabatan-jabatan keislaman dalam pemerintahan, semacam
Mahkamah Syar’iyah, yakni Mufti dan Qadli[35].
Di samping alasan-alasan di
atas yang mendasari aktivitas dan perjuangan dakwah Abdul Wahab di Tanah
Banjar, sebagai seorang ulama yang alim, ahli Ilmu Fikih dan menguasai Ilmu
Tasawuf, menurut asumsi penulis Abdul Wahab juga salah seorang ulama penyebar
tarekat Sammaniyah (Pembahasan tentang peranan Syekh Abdul Wahab Bugis sebagai
salah seorang pembawa dan penyebar tarekat Sammaniyah yang bercorak Khalwatiyah,
di samping Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Syekh Muhammad Nafis al-Banjari
lebih jauh dapat dilihat dalam tulisan saya yang berjudul: “Melacak Jejak
Pembawa Tarekat Sammaniyah di Tanah Banjar”, Jurnal Khazanah, Volume II Nomor
05, September-Oktober 2003). Sehingga dalam konteks ini memungkinkan sekali
jika ia menggunakan pendekatan dakwah sufistik dalam aktivitas dakwahnya, di
samping pendekatan dakwah syariah[36].
Sayangnya, perjuangan dakwah
Abdul Wahab tidak begitu panjang, ia meninggal terlebih dahulu dan lebih muda
setelah sekian lama berjuang bahu-membahu mendakwahkan Islam bersama dengan
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, yakni lebih kurang 10-15 tahunan[37].
2). Muhammad Nafis
Al-Banjari
Muhammad nafis lahir pada 1148/1735 di martapura dari keluarga bangsawan
banjar. Jadi, dia hidup pada periode yang sama dengan
muhammad arsyad. Tidak ada catatan mengenai kematiannya, meski diketahui dia
meninggal dunia dan dikuburkan di kelua, sebuah desa kira-kira 125 km di banjarmasin. Pendidikan
awal muhammad nafis tidak begitu jelas, tetapi kemungkinan besar dia diajari
mengenai prinsip-prinsip dasar islam di wilayah tempat tinggalnya sendiri. Di
kemudian hari, kita dapati dia belajar di makkah, sebagaimana dia tuliskan
dalam catatan pendahuluan bagi karyanya al-durr al-nafis:”...dia yang menulis
rislah ini... yaitu muhammad nafis b. Idrus b. Al-husayn, yang dilahirkan di
banjar da hidup di makkah.”(muhammad nafis al-banjari, al-durr al-nafis,
dikutip dalam abdullah, ”syekh muhammad belajar bersama al-palimbani, muhammad
arsyad, dan rekan-rekan mereka yang telah dikemukakan sebelumnya, tetapi besar
kemungkinan masa belajar muhammad nafis di haramayn bersamaan dengan masa
belajar al-palimbani dan rekannya yang lain. Karena itu, saya menduga, mereka
belajar bersama pada satu atau lain masa, terutama jika kita pertimbangkan
daftar guru-guru muhammad nafis.
Muhammad nafis di berbagai tempat dalam al-durr al-nafis
menyatakan belajar dengan sejumlah ulama di haramayn, yang paling terkenal diantaranya
adalah al-sammani, muhammad al-jawhari, abdullah b.hijazi al-syarqawi, muhammad
siddiq b.umar khan, dan abd al-rahman b.abd al-aziz al-maghribi. Muhammad
siddiq b.umar khan adalah murid al-sammani, dan abdul aziz al maghribi, dan
kelihatan dia merupakan kawan dekat al-palimbani.
Muhammad nafis al-banjari,
seperti kebanyakan ulama melayu-indonesia, mengikuti mazhab syafi’i dan doktrin teologi asy’ari. Dia berafiliasi
dengan beberapa tarekat: Qadiriyah, Syathariyah, sammaniyah, naqsyabandiyah,
dan Khalwatiyah[38].
muhammad nafis adalah ahli kalam dan tasawuf. Karyanya, DurrAl-Nafis[39],
menekankan transendensi mutlak dan keesaan Tuhan, menolak pandangan jabariyah
yang mempertahankan determinisme fatalistik yang bertentangan dengan
kehendak bebas (Qadariyah). Menurut
pendapat muhammad nafis, kaum muslim harus berjuang mencapai kehidupan yang
lebih baik dengan jalan melakukan perbuatan-perbuatan baik dan menghindari
kejahatan.jadi, muhammad nafis jelas adalah pendukung aktivisme, salah satu
ciri dasar neo-sufisme yang telah dibahas di muka. Dengan tekanan kuat pada
aktivisme muslim, tidak mengherankan, bukunya dilarang belanda, karena dikhawatirkan akan mendorong
kaum muslim melancarkan jihad[40].
Tidak ada informasi mengenai
kapan Muhammad Nafis Al-Banjari kembali ke nusantara. Tampaknya, dia pergi
langsung ke kalimantan. Berbeda dengan
muhammad arsyad, yang merintis pusat pendidikan islam, muhammad nafis
mencurahkan dirinya dalam usaha melanjutkan penyebaran islam di wilayah
pedalaman kalimantan selatan. Dia benar-benar seorang guru sufi kelana yang
khas, yang memainkan peranan penting dalam mengembangkan islam di kalimantan[41].
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi. 1994. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII.
Bandung: Mizan.
Azra, Azyumardi. 2000. Renaisans Islam Asia
Tenggara, Sejarah Wacana dan Kekuasaan. Jakarta: Rosda.
Bruinessen, Martin van, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat : Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, Mizan, Bandung, 1999.
Daudi, Abu. 1996. Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Tuan Haji Besar. Martapura:
Sekretariat Madrasah Sullamul Ulum Dalam Pagar.
Departemen Agama RI. 1999. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve.
Helmiati. 2008. Dinamika Islam Asia Tenggara. Pekanbaru: Suska Press.
Muljana, Slamet. 2009. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Islam Di Nusantara. Yogyakarta:
LKIS.
Su’ud, Abu. 2003. Islamologi Sejarah, Ajaran, dan Peranannya dalam Peradaban Umat
Manusia. Jakarta: Rineka Cipta.
Sjamsuddin, Helius. 2001. Pegustian dan
Temenggung: Akar Sosial, Politik, Etnis, dan Dinasti.Jakarta: Balai Pustaka.
Tim Penulis Iain Syarif Hidayatullah. 2002. Ensiklopedi islam. jilid I. Jakarta:
Djambatan.
Poesponegoro, Marwati Djoened. 1984. sejarah Nasional Indonesia II.
Jakarta: Balai Pustaka.
http://faktaandalusia.wordpress.com/2007/08/09/sejarah-awal-islam-kalimantan
http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Banjar
http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Banjarmasin
http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Arsyad_al-Banjari_bin_Abdullah_Al -Aidrus
http://tarbiyyahibnumasran.blogspot.com/2007/06/mengenali-tokoh-ulama-banjar.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Banjar
http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Banjarmasin
http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Arsyad_al-Banjari_bin_Abdullah_Al -Aidrus
http://tarbiyyahibnumasran.blogspot.com/2007/06/mengenali-tokoh-ulama-banjar.html
* . Penulis adalah mahasiswa/i
Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Qasim Riau
[1] .Dr. Setia Budi
(E.F.E. Douwes Dekker 1879-1952), dalam salah satu ceramahnya di Yogyakarta menjelang akhir hayatnya. http. Wikwpedia.org.
[2] . kehadiran para jemaah haji dari nusantara ini dilaporkan pertama
kali dalam catatan perjalanan seorang muslim dan berhasil memasuki makkah dan madinah pada tahun 910
H/1504 M. Ensiklopedi Tematis Dunia
Islam, jilid 5. hal. 13.
[3] . Wilayah Asia Selatan Meliputi India
Selatan Dan Utara, Pakistan, Bangladesh, Dan Sri Langka. Taufik Abdullah,dkk, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Faktaneka dan Indeks, (Jakarta:
PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002). Hal. 11-12.
[4] . Azyumardi Azra Jaringan
Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung: Mizan, 1994,hal 314.
[5] . Kerajaan Negara
Daha adalah sebuah kerajaan Hindu (Syiwa-Buddha)yang pernah berdiri di
Kalimantan Selatan. Pusat ibukota kerajaan ini semula berada di kota
Negara (kecamatan Daha Selatan, Hulu Sungai Selatan) dan terakhir di Marampiau
(kecamatan Candi Laras Selatan, Tapin) berdekatan dengan lokasi situs Candi
Laras, sedangkan Bandar perdagangan berada di Bandar Muara Bahan (sekarang kota Marabahan, Barito
Kuala). Kerajaan Negara Daha merupakan kelanjutan dari Kerajaan Negara Dipa
yang berkedudukan di Candi Agung, kota Amuntai, Hulu Sungai Utara. Yang
terletak di sekitar percabangan sungai Bahan (sungai Negara) yang bercabang
menjadi sungai Tabalong dan sungai Balangan dan sekitar sungai Pamintangan
(sungai kecil anak sungai Negara). Untuk menghindari bala bencana ibukota
kerajaan dipindahkan ke arah hilir sungai Negara (sungai Bahan) sehingga
disebut dengan nama yang baru sesuai letak ibukotanya ketika dipindahkan yaitu
Kerajaan Negara Daha, Sesuai Tutur Candi (Hikayat Banjar versi II)
[6] . Helius Sjamsuddin, Pegustian dan Temenggung: Akar Sosial, Politik, Etnis, dan Dinasti. (Jakarta:
Balai Pustaka, 2001), hal. 20.
[7] . Pengislaman di kalimantan selatan
dikatakan dalam berita portugis, terjadi pada sekitar tahun 1550 M. Sejak
dahulu daerah kalimantan selatan sudah lama berhubungan dengan pedagang dari
jawa terutama dengan kerajaan demak, yang sudah menjadi Islam. (Lihat Prof.
Dr.Abu su’ud, Islamologi; sejarah, ajaran
da peranannya dalam peradaban umat manusi, (Rineka cipta, 2003) hal 135.
[8] . Borneo adalah nama alternatif untuk
Kalimantan. Seringkali istilah ini dipakai untuk merujuk pulau "Borneo"
atau "Kalimantan" secara keseluruhan. Sedangkan kata
"Kalimantan" yang sebagian besarnya merupakan bekas wilayah Kerajaan
Banjar hanya dipakai untuk merujuk ke bagian Indonesia. Sedangkan bahagian
keseluruhan berikut Sabah, Sarawak dan Brunei disebut "Borneo". Pulau
"Borneo" merupakan yang terbesar ketiga di dunia. Dan merupakan
satu-satunya pulau di dunia yang terbagi kedalam 3 negara. Kata
"Borneo" secara etimologis berasal dari kata Brunei, kerajaan yang
pernah memerintah sebagian besar wilayah utara pulau ini (Sabah, Sarawak),
meskipun sekarang hanya menguasai daerah sangat kecil saja
[9] . Kesultanan Demak, adalah kesultanan
Islam pertama di Jawa yang didirikan oleh Raden Patah pada tahun 1478.
Kesultanan ini sebelumnya merupakan bagian dari kerajaan Majapahit, dan
kesultanan ini merupakan pelopor penyebaran agama Islam di pulau Jawa dan
Indonesia pada umumnya. Kesultanan Demak mengalami kemunduran karena terjadi
perebutan kekuasaan antar kerabat kerajaan. Pada tahun 1568, kekuasaan
Kesultanan Demak beralih ke Kesultanan Pajang yang didirikan oleh Jaka Tingkir.
Salah satu peninggalan bersejarah Kesultanan Demak ialah Mesjid Agung Demak,
yang diperkirakan didirikan oleh para Walisongo. Lokasi ibukota Kesultanan
Demak saat ini telah menjadi kota Demak di Jawa Tengah. http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Banjarmasin
[10] Kota Banjarmasin adalah salah satu kota
sekaligus merupakan ibu kota dari provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia. Kota
ini memiliki luas wilayah 72 km² atau 0,019% dari luas wilayah Kalimantan Selatan.
Jumlah penduduk di kota ini adalah sebanyak 527.250 jiwa (2000) dengan
kepadatan penduduk 7.325/km². http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Banjarmasin
Pangeran Samudera Raja Banjar di Islamkan oleh wakil Penghulu Demak Khatib
Dayan
pada tanggal 24 September 1526, hari Rabu jam sepuluh pagi bertepatan
dengan
8 Zulhijjah
932 Hijriyah, tanggal . Hasan Muarif Ambary, op.cit.
Kesultanan
Banjar terus berkembang, hingga menghasilkan banyak keturunan dan memiliki
catatan tersendiri dalam sejarah Kerajaan Islam Nusantara. Adapun silsilah
raja-raja / penguasa Banjarmasin adalah:
1. Raja I adalah Sultan Suriansyah (1520-1546)
2. Raja II adalah Sultan Rahmatullah (1546-1570)
3. Raja III adalah Sultan Hidayatullah (1570-1595)
4. Raja IV adalah Sultan Mustainbillah (1595-1638)
5. Raja V adalah Sultan Inayatullah (1642-1647)
6. Raja VI adalah Sultan Saidullah (1647-1660)
7. Raja VII adalah Sultan Ri’ayatullah (1660-1663)
8. Raja VIII adalah Sultan Amirullah Bagus Kusuma (1663-1679)
9. Raja IX adalah Sultan Agung (1663-1679)
10. Raja X adalah Sultan Amirullah Bagus Kusuma (kedua kali 1679-1700)
11. Raja XI adalah Sultan Hamidullah (1730-1734)
12. Raja XII adalah Sultan Tamjidullah (1734-1759)
13. Raja XIII adalah Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah (1759-1761)
14. Raja XIV adalah Susuhunan Nata Alam (1761-1801)
15. Raja XV adalah Sultan Sulaiman Saidullah (1801-1825)
16. Raja XVI adalah Sultan Adam Alwasikh Billah (1825-1857)
17. Raja XVII adalah Sultan Tamjidullah Alwasikh Billah (1857-1859)
1. Raja I adalah Sultan Suriansyah (1520-1546)
2. Raja II adalah Sultan Rahmatullah (1546-1570)
3. Raja III adalah Sultan Hidayatullah (1570-1595)
4. Raja IV adalah Sultan Mustainbillah (1595-1638)
5. Raja V adalah Sultan Inayatullah (1642-1647)
6. Raja VI adalah Sultan Saidullah (1647-1660)
7. Raja VII adalah Sultan Ri’ayatullah (1660-1663)
8. Raja VIII adalah Sultan Amirullah Bagus Kusuma (1663-1679)
9. Raja IX adalah Sultan Agung (1663-1679)
10. Raja X adalah Sultan Amirullah Bagus Kusuma (kedua kali 1679-1700)
11. Raja XI adalah Sultan Hamidullah (1730-1734)
12. Raja XII adalah Sultan Tamjidullah (1734-1759)
13. Raja XIII adalah Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah (1759-1761)
14. Raja XIV adalah Susuhunan Nata Alam (1761-1801)
15. Raja XV adalah Sultan Sulaiman Saidullah (1801-1825)
16. Raja XVI adalah Sultan Adam Alwasikh Billah (1825-1857)
17. Raja XVII adalah Sultan Tamjidullah Alwasikh Billah (1857-1859)
[12] . Lihat Ensiklopedi Tematis... jilid 5, hal. 276.
dikuburkan di Kuwin Utara, Banjarmasin. ada yang berpendapat Khatib Dayan
itu
adalah seorang Arab golongan Ahlul Baid bernama Sayyid Abdurrahman. Orang
Jawa
lazim menyebutkan Sayyid Ngabdul Rahman. Mungkin pula Khatib Dayan itu
orang
Jawa keturunan Arab karena sepanjang pantai utara Jawa, Tuban Gresik,
Demak,
merupakan
tempat pemukiman orang Arab.
[14] . Lihat Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam., (Jakarta: Djambatan, 2002), hal. 267. Lihat
juga Helius Sjamsuddin, Pegustian dan
Temenggung: Akar Sosial, Politik, Etnis, dan Dinasti. (Jakarta: Balai
Pustaka, 2001), hal. 21-71.
[15] Keruwetan politik dalam negeri Kesultanan banjar ini ahirnya menimbulkan
meletusnya Perang banjar selama 4 tahun (1859 – 1863). Pada periode konflik
fisik itulah, yaitu pada tahun 1859, muncul seorang pangeran setengah baya yang
telah disingkirkan haknya, memimpin perlawanan terhadap Belanda. Dialah
Pangeran Antasari yang lahir tahun 1809. Pangeran ini, telah bekerja sama
dengan para petani. Dua tokoh pimpinan kaum petani saat itu Panembahan Aling
dan Sultan Kuning, telah membantu Antasari untuk melancarkan serangan
besar-besaran. Mereka menyerang pertambangan batubara Belanda dan pos-pos
misionaris serta membunuh sejumlah orang Eropah. Sehingga pihak Kolonial
mendatangkan bantuan besar-besaran. Antasari kemudian bergabung dengan
kepala-kepala daerah Hulu Sungai, Marthapura, Barito, Pleihari, Kahayan,
Kapuas, dan lain-lain. Mereka bersepakat mengusir Belanda dari Kesultanan
Banjar. Maka perang makin menghebat, dibawah pimpinan Pangeran Antasari. Pernah pihak Belanda mengajak berunding,
tetapi Pangeran Antasari tidak pernah mau. Daerah pertempurannya meliputi
Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Pada tahun 1862 Pangeran Antasari
merencanakan suatu serangan besar-besaran terhadap Belanda, tetapi secara
mendadak, wabah cacar melanda daerah Kalimanatan Selatan, Pangeran Antasari
terserang juga, sampai ia meninggal pada 11 Oktober 1862 di bayan Begak,
Kalimantan Selatan. Kemudian ia dimakamkan di Banjarmasin. Lihat Helius,
Pegustian dan Temenggung..., hal. 99-220.
[16] . keberadaan belanda bermula dari adanya
kekuasaan portugis di malaka pada 1511 yang mengadakan kongsi dagang bersama
inggris. Selain mempersempit peran pedagang muslim,
memonopoli perdagangan, belanda juga berusaha memperluas pengaruh politiknya
dengan mengambil keuntungan dari konflik internal yang sering terjadi di
kerajaan local atau antar kerajaan local di nusantara, terutama di pulau jawa.
Keterlibatan
VOC di dalam berbagai konflik itu pada satu sisi membenarkan usahanya dalam
memperluas pengaruh politik sebagai sesuatu yang legal. Pada saat yang sama,
pengaruh ekonomi VOC semakin besar melalui penguasaan hak atas tanah atau
wilayah, termasuk hak memonopoli produksi, perdagangan, tenaga kerja, serta
pajak. VOC mengambil alih sumber ekonomi penguasa local, dan sekaligus
menentukan status ekonomi mereka. Ensiklopedi
Tematis... jilid 5, hal. 291-292.
[17] . Tradisi intelektual juga dipahami sebagai upaya “penerjemahan”
nilai-nilai islam ke dalam system sosial budaya masyarakat nusantara, berarti
proses penyerapan prinsip islam melalui modus konseptualisasi yang berbasis
pada system sosial budaya nusantara, yang akan membentuk dimensi islam
nusantara yang khas. Ensiklopedi Tematis…
jilid 5, hal. 139.
[18] . Penyebaran pembaruan dari pusat-pusat pengetahuan dan keilmuwan
di timur tengah ke berbagai wilayah nusantara serta hubungan religius dan
intelektual antarulamanya ternyata tidak terputus hingga masa al-raniri,
singkel, dan syekh yusuf saja, melainkan berkelanjutan dan bahkan mencapai
momentumnya pada periode berikutnya, tepatnya abad-18 hingga awal abad ke-19
dan ke-20. pada periode ini pula gerakan pembaruan di wilayah Melayu-Indonesia
mulai menunjukkan akselerasi yang signifikan dengan lebih berkembangnya
penghargaan akan pentingnya pengetahuan dan keilmuwan islam serta perlunya
pembaruan di kalangan berbagai kelompok etnik di Nusantara.
Ulama
melayu-indonesia setelah abad ke-7, tercatat: abdus samad al-palimbani,
syihabuddin bin Abdullah Muhammad, kemas fakhruddin, kemas Muhammad bin ahmad,
dan Muhammad muhyiddin bin syihabuddin (Sumatra selatan) dan ulama-ulama dari
berbagai wilayah yaitu Muhammad arsyad al-banjari dan Muhammad nafis al-banjari
dari Kalimantan selatan, abdul wahhab al-bugisi dari sulawesi, Abdurrahman
masri al-baawi dari batavia, daud bin Abdullah al-fatani dari wilayah
patani(Thailand selatan), ahmad rifa’I dari kalisasak, Muhammad bin umar
an-nawawi al-bantani al-jawi dari banten, serta syekh ahmad khatib
al-minangkabawi dan Muhammad yasin bin Muhammad isa al-padani dari Sumatra
barat. Ensiklopedi Tematis…, jilid 5. hal. 127-128).
[19] . Jalur nasabnya adalah Maulana Muhammad Arsyad Al Banjari bin
Abdullah bin Abu Bakar bin Sultan Abdurrasyid Mindanao bin Abdullah bin Abu
Bakar Al Hindi bin Ahmad Ash Shalaibiyyah bin Husein bin Abdullah bin Syaikh
bin Abdullah Al Idrus Al Akbar (datuk seluruh keluarga Al Aidrus) bin Abu Bakar
As Sakran bin Abdurrahman As Saqaf bin Muhammad Maula Dawilah bin Ali Maula Ad
Dark bin Alwi Al Ghoyyur bin Muhammad Al Faqih Muqaddam bin Ali Faqih Nuruddin
bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khaliqul Qassam bin Alwi bin Muhammad Maula
Shama'ah bin Alawi Abi Sadah bin Ubaidillah bin Imam Ahmad Al Muhajir bin Imam
Isa Ar Rumi bin Al Imam Muhammad An Naqib bin Al Imam Ali Uraidhy bin Al Imam
Ja'far As Shadiq bin Al Imam Muhammad Al Baqir bin Al Imam Ali Zainal Abidin
bin Al Imam Sayyidina Husein bin Al Imam Amirul Mu'minin Ali Karamallah wa
Sayyidah Fatimah Az Zahra binti Rasulullah SAW.
[20].Untuk biografi lengkap
muhammad arsyad, lihat, zamzan, syekh muhammad arsyad; jusuf halidi, ulama
besar kalimantan: syech muhammad arsjad al-banjari, martapura: jajasan
al-banjari, 1968;tamar djaja, ”sjeich M. Arsjad Bandjar”, dalam pusaka indonesia,
djakarta: bulan bintang, 1965, 309 – 17; Shaghir Abdullah, syeikh muhd. Arsyad
albanjari, matahari islam, pontianak:
al-fathanah, 1983;abu daudi, maulana syekh moh. Arsyad al-banjari, martapura:
sullamululum, 1980; M.S Kadir, ”Syekh muhammad ’arsyad al-banjari pelopor
dakwah islam & kalimantan selatan”, mimbar ulama, 6 (1976), 69-79, dalam
Azra, Jaringan Ulama…, hal.
[21] . k. Steenbrink,”syekh muhammad arsyad al-banjari: 1710-1812, tokoh
fikih dan tasawuf,” dalam karyanya beberapa aspek tentang islam di nidonesia
abad ke-19, jakarta:
bulan bintang, 1984,91,96. dalam Azra, Jaringan
Ulama…, hal. .
[22] . halidi, ulama besar, 11-12; abdullah, syekh abdush shamad, 11 –
2, dalam Azra, Jaringan Ulama…, hal.
[23] . zamzam, syek muhammad
arsyad, 10; steenbrink,syekh muhammad arsyad; 92, dalam Azra, Jaringan Ulama…, hal.
[24] . halidi, ulama besar, 14 – 5; halidi, syekh muhammad arsyad, 7;
c.s hurgronje, nasihat-nasihat c.snouck hurgronje semasa kepegawaiannya kepada
pemerintah hindia belanda, terj. Sukarsi, jakarta:
INIS,1991,V,898 – 9. ini merupakan edisi indonesia dari E.Gobee & C.
Adrianse (comp), Amptelijke Adviezen van C. Snouck hurgronje, 1889 – 1936, 2
jilid, s-Gravenbage: Nijhoff, 1959 -65, dalam Azra, Jaringan Ulama…, hal.
[25] . zamzam, syekh muhammad
arsyad, 8.9; halidi, ulama besar, 16.
[26] . halidi, ulama besar, 18; zamzami, syekh muhammad arsyad, 10-11
[27] . Karya Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari lainnya adalah:
1.KITAB
USHULUDIN
Kitab yang berkaitan dengan keimanan dan ketauhidan, sifat-sifat Allah SWT dan Rasulullah SAW. Ditulis tahun 1774 M.
2. KITAB LUQTHATUL ‘AJLAN FI BAYANI HAIDHI WA ISTIHADHATI WA NIFASINNISWAN
Kitab yang berisi mengenai haidh, istihadhah dan nifas.
3. KITAB FARA-IDH
Kitab yang berisi mengenai hukum waris.
4. KITAB TUHFATURRAGHIBIEN
Kitab yang berisi tentang iman, hal-hal yang merusak iman, tanda-tanda orang murtad dan hukumnya. Ditulis tahun 1774 M
5. KITAB AL-QAULUL MUKHTASHAR FI ‘ALAMATIL MAHDIL MUNTAZHAR
Kitab yang berisi mengenai turunnya Imam Mahdi, Nabi Isa As, tentang Dajjal, keluarnya Ya’juj dan Ma’juj. Ditulis tahun 1196 H.
6. KITAB ILMU FALAK
Kitab yang berisi tentang cara menghitung kapan terjadinya gerhana matahari dan bulan.
7. KITABUN NIKAH
Kitab yang berisi mengenai perwalian dan tata cara aqad nikah yang telah dicetak di Turki.
8. KITAB KANZUL MA’RIFAH
Kitab Ilmu Tasauf
9. FATWA SULAIMAN KURDI
Risalah fatwa-fatwa Syeikhul Islam Imamul Haramain ‘Alimul ‘Allamah Muhammad bin Sulaiman Al Kurdie.
10. KITAB SABILAL MUHTADIEN LITTAFAQQUH FI AMRIDDIN.
Kitab Ilmu Fiqih
11. MUSHAF AL QURAN AL KARIEM
Al Quran yang ditulis dengan perasaan seni (Kaligrafi)
12. KITAB FATHUL JAWAD
Memuat ketentuan fikih tentang hak pemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah
Kitab yang berkaitan dengan keimanan dan ketauhidan, sifat-sifat Allah SWT dan Rasulullah SAW. Ditulis tahun 1774 M.
2. KITAB LUQTHATUL ‘AJLAN FI BAYANI HAIDHI WA ISTIHADHATI WA NIFASINNISWAN
Kitab yang berisi mengenai haidh, istihadhah dan nifas.
3. KITAB FARA-IDH
Kitab yang berisi mengenai hukum waris.
4. KITAB TUHFATURRAGHIBIEN
Kitab yang berisi tentang iman, hal-hal yang merusak iman, tanda-tanda orang murtad dan hukumnya. Ditulis tahun 1774 M
5. KITAB AL-QAULUL MUKHTASHAR FI ‘ALAMATIL MAHDIL MUNTAZHAR
Kitab yang berisi mengenai turunnya Imam Mahdi, Nabi Isa As, tentang Dajjal, keluarnya Ya’juj dan Ma’juj. Ditulis tahun 1196 H.
6. KITAB ILMU FALAK
Kitab yang berisi tentang cara menghitung kapan terjadinya gerhana matahari dan bulan.
7. KITABUN NIKAH
Kitab yang berisi mengenai perwalian dan tata cara aqad nikah yang telah dicetak di Turki.
8. KITAB KANZUL MA’RIFAH
Kitab Ilmu Tasauf
9. FATWA SULAIMAN KURDI
Risalah fatwa-fatwa Syeikhul Islam Imamul Haramain ‘Alimul ‘Allamah Muhammad bin Sulaiman Al Kurdie.
10. KITAB SABILAL MUHTADIEN LITTAFAQQUH FI AMRIDDIN.
Kitab Ilmu Fiqih
11. MUSHAF AL QURAN AL KARIEM
Al Quran yang ditulis dengan perasaan seni (Kaligrafi)
12. KITAB FATHUL JAWAD
Memuat ketentuan fikih tentang hak pemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah
Bagi
mengenang jasa dan sumbangan beliau, beberapa tempat di Indonesia telah mengabadikan nama
dan karya beliau. Antaranya ialah Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad
al Banjari dan Masjid Raya Sabilal Muhtadin.
[28] . Muhammad Arsyad Al-Banjari, Sabil Al-Nuhtadin Li Al-Tafaqquh Fi ’Amr
Al-Din, MS. Jakarta: perpustakaan nasional, MI. 776,2-4 abdullah, syekh
muhammad arsyad,51; ”syekh muhammad arsyad’, dalam perkembangan ilmu fiqih, 81
– 2; zamzam, ”karya al-raniri dan al-banjari’, 49; mohd. Nor Ngah, kitab jawi:
islamic thought of the malay muslim scholars, singapore: ISEAS, 1982,5.
[29] . Lihat, Geertz, Islam Observed, 12 – 3; Noer, The Modernist
Muslim, 12 dalam http://tarbiyyahibnumasran.blogspot.com/2007/06/mengenali-tokoh-ulama-banjar.html
[30]. Berdasarkan
pendapat dari Karel S. Steenbrink sebenarnya riwayat hidup seorang tokoh dapat
dilacak melalui dua sumber utama. Pertama sumber intern, yakni sumber yang
berasal dari tokoh itu sendiri, misalnya karya tulis, biografi tentang sejarah
hidupnya atau sumber tertulis lainnya. Kedua, sumber ekstern, yakni
tulisan-tulisan yang mengetengahkan tentang riwayat hidup dan perjuangan dari
seorang tokoh (1985: 91). Dalam konteks ini pendekatan pertama yang bersifat intern
tidak bisa diterapkan, karena sampai sekarang tidak pernah ditemukan satupun
karya tulis, buku, risalah, atau kitab karangan Syekh Abdul Wahab Bugis yang
bisa dibaca dan ditelaah. Sedangkan pendekatan kedua yang bersifat ekstern yang
mengetengahkan tentang riwayat hidup dan perjuangannya juga sangat terbatas dan
sedikit sekali, bahkan hampir-hampir tidak ada. Sehingga wajar, walaupun
Azyumardi Azra memasukkan Syekh Abdul Wahab Bugis sebagai salah seorang tokoh
penting dalam konsep jaringan ulamanya, namun pengungkapan data, riwayat hidup,
karier, dan perjuangannya sendiri hampir tidak ada.
Sebagaimana dikatakan, tulisan yang
mengetengahkan riwayat hidup tokoh yang satu ini memang sangat sedikit, bahkan
hampir-hampir tidak ada. Namun menilik dari namanya, Syekh Abdul Wahab Bugis
–selanjutnya ditulis Abdul Wahab– orang sudah bisa menduga bahwa sebenarnya ia
bukanlah asli orang Banjar, karena memang ia berasal dari Bugis, Makasar,
Sulawesi Selatan. Tepatnya, menurut Abu Daudi, Abdul Wahab adalah seorang
berdarah bangsawan, ia keturunan seorang raja yang berasal dari daerah
Sadenreng Pangkajene, dan dilahirkan di sana. Sebagai seorang yang berdarah
bangsawan ia diberi gelar Sadenring Bunga Wariyah. Jadi nama lengkapnya adalah
Abdul Wahab Bugis Sadenreng Bunga Wariyah.
Pangkajene, daerah tempat
kelahiran Abdul Wahab sekarang ini adalah adalah salah satu kecamatan yang ada
di Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep) Sulawesi Selatan, ibukotanya adalah
Tomapoa. Terletak di sebelah atau bagian barat dari propinsi
Sulawesi Selatan. Di samping di kenal sebagai daerah pertanian yang subur
dengan tanah pegunungan dan dataran rendahnya, daerah ini dikenal pula sebagai
daerah perikanan. Salah satu peninggalan sejarah yang terkenal di daerah ini
adalah Arojong Pangkajene. (Depag RI, 1996: 786).
Tidak diketahui secara pasti kapan ia dilahirkan. Perkiraan penulis ia
dilahirkan antara tahun 1725-1735, mengingat usianya yang lebih muda
dibandingkan dengan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang dilahirkan pada tahun
1710 M. http://tarbiyyahibnumasran.blogspot.com/2007/06/mengenali-tokoh-ulama-banjar.html.
[31] . Walaupun kemudian diketahui bahwa
Syarifah sendiri telah dinikahkan dengan Usman dan telah mendapatkan satu orang
anak, bernama Muhammad As’ad. Tetapi setelah diteliti oleh Syekh Muhammad
Arsyad berdasarkan hitungan Ilmu Falak maka dapat disimpulkan bahwa pernikahan
Abdul Wahab dengan Syarifah yang dilakukan oleh Syekh Muhammad Arsyad dengan
kedudukan Wali Mujbir di Mekkah lebih terdahulu waktunya daripada pernikahan
Syarifah dengan Usman melalui Wali Hakim di Martapura. Karena itulah akhirnya
pernikahan Usman dan Syarifah difasakh atau dibatalkan, dan ditetapkan bahwa
Abdul Wahab-lah yang menjadi suami Syarifah.
Keputusan ini kemudian ditaati oleh kedua
belah pihak, dan menurut cerita Usman akhirnya merantau ke daerah Palembang
Sumatera Selatan, serta merintis terbentuknya sebuah desa di sana yang diberi
nama Martapura. Karena itu boleh jadi di Indonesia, daerah yang bernama
Martapura hanya ada dua, yakni Martapura di Kalimantan Selatan atau Martapura
di Palembang (Sumatera Selatan).
Hasil perkawinannya dengan
Syarifah binti Syekh Muhammad Arsyad ini melahirkan dua orang anak,
masing-masing bernama Fatimah dan Muhammad Yasin. Fatimah binti Syekh Abdul
Wahab Bugis kemudian dikawinkan dengan H.M. Said Bugis dan melahirkan dua orang
anak, yakni Abdul Gani dan Halimah, sedangkan Muhammad Yasin tidak memiliki
keturunan. Abdul Gani anak Fatimah kemudian kawin dengan Saudah binti H.
Muhammad As’ad dan juga melahirkan dua orang anak, namun keduanya meninggal
dunia. Sementara, Halimah pun juga tidak memiliki keturunan. Abdul Ghani
kemudian kawin lagi dengan seorang wanita dari Mukah Sarawak dan mendapatkan lagi
dua orang anak, yakni Muhammad Sa’id dan Sa’diyah. Muhammad Said kemudian kawin
dan mendapatkan dua orang anak, bernama Adnan dan Jannah. Sedangkan Sa’diyah
memiliki anak bernama Sailis, yang menurut cerita kemudian tinggal di Sekadu,
Pontianak Abu Daudi, Maulana Syekh
Muhammad Arsyad al-Banjari, Tuan Haji Besar. (Martapura, Sekretariat
Madrasah Sullamul Ulum Dalam Pagar, 1996)hal. 78.
[32] . Abdul Wahab dikenal sebagai salah
seorang tokoh “empat serangkai”, yakni Syekh Abdurrahman al-Misri, Syekh Abdus
Samad al-Palimbani, dan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, yang memiliki akhlak
dan kepribadian sebagaimana akhlak dan kepribadian yang dimiliki oleh tokoh
empat serangkai lainnya, sebagaimana digambarkan oleh Abu Daudi mereka adalah
empat serangkai yang seiring sejalan, yang mendapat pendidikan dari guru yang
sama, yang sama-sama mengutamakan ilmu dan amal, dan empat serangkai yang
sama-sama pulang bersama serta mengemban tugas yang serupa. Ia adalah sahabat
sekaligus menantu dari Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Jika Syekh Muhammad
Arsyad dan Syekh Abdus Samad al-Palimbani lebih banyak menghabiskan waktu
mereka menuntut ilmu di kota Mekkah, maka Abdul Wahab bersama dengan sahabatnya
Syekh Abdurrahman Misri lebih banyak menghabiskan waktu mereka menuntut ilmu di
kota Mesir. Sehingga dalam tulisan Abu Daudi, Abdul Wahab tercatat sebagai
salah seorang murid dari Syekhul Islam, Imamul Haramain Alimul Allamah Syekh
Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi. Syekh Sulaiman al-Kurdi ini kemudian juga
menjadi guru dari Syekh Muhammad Arsyad dan Syekh Abdusshamad al-Palimbani.
Itulah sebabnya ia mengiringi gurunya itu ke kota Madinah ketika gurunya itu
hendak mengajar, mengembangkan pengetahuan agama dan Ilmu Adab serta mengadakan
pengajian umum.
Di kota Madinah inilah kemudian
empat serangkai bertemu dan selanjutnya Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan
Abdus Samad al-Palimbani pun mengikuti majelis pengajian Syekh Muhammad
Sulaiman al-Kurdi, yang kemudian memicu lahirnya tulisan Syekh Muhammad Arsyad
yang berjudul “Risalah Fatawa Sulaiman Kurdi”. Risalah ini berupa naskah yang
isinya menerangkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Syekh
Muhammad Arsyad al-Banjari kepada Syekh Muhammad Sulaiman al-Kurdi tentang
keadaan atau tindakan Sultan Banjar yang memungut pajak dan mengenakan hukuman
denda bagi mereka yang meninggalkan shalat Jum’at dengan sengaja, serta
berbagai masalah lainnya. Risalah ini ditulis dalam bahasa Arab, dan belum
pernah diterbitkan, namun naskah asli tulisan beliau sampai sekarang masih ada
dan tetap tersimpan dengan baik pada salah seorang zuriat beliau di desa Dalam
Pagar Martapura.
Kemudian atas anjuran dari
Syekh Muhammad Sulaiman al-Kurdi pula, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan
Syekh Abdus Samad al-Palimbani yang haus ilmu pengetahuan yang semula berniat
dan berencana untuk menambah ilmu ke Mesir tidak jadi berangkat ke sana, sebab
ilmu pengetahuan yang mereka miliki telah dianggap cukup, untuk selanjutnya
mereka disarankan segera pulang ke tanah air guna mengamalkan dan mengembangkan
ilmu yang telah didapat (Abu Daudi, 1996: 29).
Bandingkan dengan pendapat
Azyumardi Azra (1994: 253), yang menyatakan bahwa Syekh Muhammad Arsyad
al-Banjari dan Syekh Abdus Samad al-Palimbani meminta izin dan restu kepada
guru mereka Syekh Athaillah bin Ahmad al-Misri untuk menuntut ilmu ke Mesir,
namun oleh Syekh Athaillah mereka disarankan untuk pulang ke tanah air
mengamalkan ilmu yang telah didapat, sebab Syekh Athaillah percaya mereka
(empat serangkai) telah memiliki pengetahuan yang lebih dari cukup, sehingga
akhirnya mereka tidak jadi menuntut ilmu ke Mesir, tetapi tetap ke sana untuk
berkunjung. Sebagai tanda kunjungan akhirnya nama Syekh Abdurrahman al-Batawi
ditambah dengan al-Misri.
Menurut riwayat, selama di
kota Madinah, “empat serangkai” juga belajar ilmu tasawuf kepada Syekh Muhammad
bin Abdul Karim Samman al-Madani, seorang ulama besar dan Wali Quthub di
Madinah, sehingga akhirnya mereka berempat mendapat gelar dan ijazah khalifah dalam
tarekat Sammaniyah Khalwatiyah.
Di samping tercatat sebagai
murid dari Syekh Muhammad bin Abdul Karim Samman al-Madani (seorang ulama besar
dan Wali Quthub di Madinah) dan Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi, Abdul
Wahab juga berguru kepada:
1. Abdul al-Mun’im
al-Damanhuri, Ibrahim bin Muhammad al-Ra’is al-Zamzami al-Makki (1698-1780 M)
yang terkenal sebagai ahli Ilmu Falak (Astronomi)
2. Muhammad Khalil bin
Ali bin Muhammad bin Murad al-Husaini (1759-1791 M) yang terkenal sebagai ahli
sejarah dan penulis kamus biografi Silk al-Durar
3. Muhammad bin Ahmad
al-Jauhari al-Mishri (1720-1772 M) yang terkenal sebagai seorang ahli hadits
4. Athaillah bin Ahmad
al-Azhari, al-Mashri al-Makki, yang juga terkenal sebagai seorang ahli hadits
ternama serta dianggap sebagai isnad unggul dalam telaah hadits.
Dengan demikian jelas, bahwa
guru-guru terkemuka Abdul Wahab di atas juga merupakan guru-guru dari tokoh
empat serangkai yang lainnya. http://tarbiyyahibnumasran.blogspot.com/2007/06/mengenali-tokoh-ulama-banjar.html
[33] .
Mengingat kedudukan dan kedekatannya, sumbangan pemikiran Abdul Wahab terhadap
sejumlah karya tulis Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dapat saja terjadi,
mengingat bahwa:
1. Abdul
Wahab adalah salah seorang ahli Fiqih dan murid dari Imam Haramain, Syekh
Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi dan Syekh Athaillah bin Ahmad al-Misri, yang
lama menuntut ilmu di Mesir dan Haramain, beliau adalah seorang yang alim,
sahabat sekaligus menantu yang berjuang berdampingan bersama Syekh Muhammad
Arsyad, mewujudkan ikrar yang telah ditetapkan ketika berkumpul bersama-sama
(dengan tokoh empat serangkai lainnya) sesudah menuntut ilmu di Madinah, dan
akan pulang ke tanah air.
2. Abdul
Wahab adalah salah seorang tokoh dari “empat serangkai” yang mendapatkan ijazah
khalifah dalam tarekat Sammaniyah ketika keempatnya belajar dan mengkaji ilmu
tasawuf atau tarekat di Madinah kepada Syekh Muhammad bin Abdul Karim Samman
al-Madani.
3. Abdul
Wahab dianggap sebagai tokoh penting dalam jaringan ulama Nusantara pada abad
ke-18 dan ke-19 karena keterlibatannya secara sosial maupun intelektual dalam
jaringan ulama tersebut. Ketokohannya diakui dan dapat dilihat dari gelar syekh
yang beliau sandang. Sebab gelar syekh dalam khazanah masyarakat Banjar mengisyaratkan
kealiman penyandangnya, sekaligus pula menjadi penanda bahwa yang bersangkutan
pernah atau lama mengkaji ilmu di Tanah Haramain (Mekkah atau Madinah). Karena
itulah di samping diangkat menjadi guru di istana kerajaan Banjar oleh sultan,
dalam kehidupan masyarakat luas pun ia dihormati dan dijadikan sebagai guru
rohani mereka. Mengingat kedudukan dan kedekatannya, sumbangan pemikiran Abdul
Wahab terhadap sejumlah karya tulis Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dapat saja
terjadi, mengingat bahwa:
1. Abdul
Wahab adalah salah seorang ahli Fiqih dan murid dari Imam Haramain, Syekh
Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi dan Syekh Athaillah bin Ahmad al-Misri, yang
lama menuntut ilmu di Mesir dan Haramain, beliau adalah seorang yang alim,
sahabat sekaligus menantu yang berjuang berdampingan bersama Syekh Muhammad
Arsyad, mewujudkan ikrar yang telah ditetapkan ketika berkumpul bersama-sama
(dengan tokoh empat serangkai lainnya) sesudah menuntut ilmu di Madinah, dan
akan pulang ke tanah air.
2. Abdul
Wahab adalah salah seorang tokoh dari “empat serangkai” yang mendapatkan ijazah
khalifah dalam tarekat Sammaniyah ketika keempatnya belajar dan mengkaji ilmu
tasawuf atau tarekat di Madinah kepada Syekh Muhammad bin Abdul Karim Samman
al-Madani.
3. Abdul Wahab dianggap sebagai tokoh penting
dalam jaringan ulama Nusantara pada abad ke-18 dan ke-19 karena keterlibatannya
secara sosial maupun intelektual dalam jaringan ulama tersebut. Ketokohannya
diakui dan dapat dilihat dari gelar syekh yang beliau sandang. Sebab gelar syekh
dalam khazanah masyarakat Banjar mengisyaratkan kealiman penyandangnya,
sekaligus pula menjadi penanda bahwa yang bersangkutan pernah atau lama
mengkaji ilmu di Tanah Haramain (Mekkah atau Madinah). Karena itulah di samping
diangkat menjadi guru di istana kerajaan Banjar oleh sultan, dalam kehidupan
masyarakat luas pun ia dihormati dan dijadikan sebagai guru rohani mereka. http://tarbiyyahibnumasran.blogspot.com/2007/06/mengenali-tokoh-ulama-banjar.html.
[34] . Bangunan
tersebut terdiri dari ruangan-ruangan untuk belajar, pondokan tempat tinggal
para santri, rumah tempat tinggal Tuan Guru atau kyai, dan perpustakaan. Oleh
Humaidy lembaga pendidikan Islam ini, sebagaimana istilah yang biasa dipakai di
kawasan dunia Melayu, seperti Riau, Palembang, Malaysia, Brunei Darussalam, dan
Fattani (Thailand) disebut punduk. Sehingga Dalam Pagar akhirnya berhasil
menjadi locus dan kawah candradimuka paling penting untuk mendidik serta
mengkader para murid yang kemudian hari menjadi ulama terkemuka di kalangan
masyarakat Kalimantan.
Tentu di masa-masa sulit seperti ini beliau berdua dengan anak menantu dan
sekaligus sahabatnya, Abdul Wahab Bugis saling membantu, mengisi, dan membina
kader-kader dakwah yang banyak jumlahnya tersebut. Hasilnya, di samping
berhasil menjadikan anak cucu mereka –Fatimah dan Muhammad Yasin bin Syekh
Abdul Wahab Bugis serta Muhammad As’ad bin Usman (mufti pertama di kerajaan
Banjar)– sebagai ulama, membentuk kader-kader masyarakat yang kelak menjadi
ulama terkemuka, mereka berdua juga berhasil membentuk masyarakat Islam Banjar
yang memiliki kesadaran untuk berpegang pada ajaran agama Islam melalu dakwah
bil-lisan, bil-kitabah, dan bil-hal, serta diteruskan kemudian oleh
generasi-generasi dan kader-kader yang telah dibina melalui upaya pengiriman juru
dakwah ke berbagai daerah yang masyarakatnya sangat memerlukan pembinaan agama,
dari sini akhirnya dakwah terus berkembang dan ajaran Islam semakin tersebar
luas ke tengah-tengah masyarakat Banjar. http://tarbiyyahibnumasran.blogspot.com/2007/06/mengenali-tokoh-ulama-banjar.html
[35] . Mufti
adalah suatu lembaga yang bertugas memberikan nasihat atau fatwa kepada sultan
masalah-masalah keagamaan, jabatan mufti kerjaan Banjar yang pertama dipegang
oleh H. Muhammad As’ad bin Usman (cucu Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari).
Sedangkan qadli adalah mereka yang mengurusi dan menyelesaikan segala urusan
hukum Islam, terhadap masalah perdata, pernikahan, dan waris, jabatan qadli
yang pertama dipegang oleh H. Abu Su’ud bin Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Sampai akhirnya Syariat Islam diterapkan sebagai hukum resmi yang mengatur
kehidupan masyarakat Islam di tanah Banjar pada masa pemerintahan Sultan Adam
al-Watsiq Billah bin Sultan Sulaiman al-Mu’tamidillah (1825-1857 M), yang
dikenal dengan nama Undang-Undang Sultan Adam (UUSA). Dibentuk dan
diberlakukannya UUSA ini bertujuan untuk mengatur agar kehidupan beragama
masyarakat menjadi lebih baik, mengatur agar akidah masyarakat lebih sempurna,
mencegah terjadinya persengketaan, dan untuk memudahkan para hakim dalam menetapkan
status hukum suatu perkara.
UUSA ini antara lain berisikan, Pasal 1 sampai dengan pasal 2 berbicara
tentang dasar negara yakni Islam yang Ahlu Sunnah wal Jamaah, pasal 4 sampai
dengan pasal 22 menerangkan peraturan dalam peradilan berdasarkan mazhab Syafi’i,
pasal 23 sampai pasal 27 berbicara tentang hukum tanah garapan, penjualan
tanah, penggadaian, peminjaman dan penyewaan tanah yang harus dilakukan secara
tertulis, serangkap di tangan hakim dan serangkap lagi di tangan yang
berkepentingan. Gugatan terhadap tanah yang terjadi sebelum diberlakukan
undang-undang dapat diajukan sebelum duapuluh tahun semenjak undang-undang
ditetapkan, sedang tanah atau kebun yang terjual atau telah dibagi kepada ahli
waris, dapat digugat selama sepuluh tahun dari tahun penjualan atau pembagian
sampai undang-undang diberlakukan. Orang yang menang dalam perkara tidak boleh
mengambil sewa selama berada di tangan tergugat. http://tarbiyyahibnumasran.blogspot.com/2007/06/mengenali-tokoh-ulama-banjar.html
[36] . Dimaksud
dengan dakwah sufistik adalah usaha dakwah yang dilakukan oleh seorang muslim
untuk mempengaruhi orang lain, baik secara individu maupun kolektif (jamaah)
agar mereka mau mengikuti dan menjalankan ajaran Islam secara sadar, usaha ini
dilakukan dengan pendekatan tasawuf, yakni pendekatan dakwah yang lebih
menekankan pada aspek batin penerima atau objek dakwah (mad’u) daripada aspek
lahiriyahnya.
Dengan kata lain pendekatan
dakwah sufistik adalah dakwah dengan menggunakan materi-materi sufisme, yang di
dalamnya terdapat aspek-aspek yang berhubungan dengan akhlak, baik akhlak
kepada Allah, kepada Rasul-Nya, kepada sesama manusia, bahkan akhlak terhadap
semua makhluk ciptaan Allah seperti tawadlu’, ikhlas, tasamuh, kasih sayang
terhadap sesama, dan lain-lain, sehingga pada akhirnya dalam diri mad’u timbul
kesadaran untuk mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ilallah)
sedekat-dekatnya agar memperoleh rahmat serta kasih sayang-Nya (Rosyidi, 2004:
46).
Apatah lagi, pada masa itu tasawuf dan berbagai tarekat yang ada telah
memainkan peranan penting dalam perkembangan dan Islamisasi di Indonesia sejak
abad XI Masehi. Di mana berlangsungnya Islamisasi di Asia Tenggara (termasuk di
Indonesia), berbarengan dengan masa-masa merebaknya tasawuf abad pertengahan,
dan pertumbuhan tarekat-tarekat, antara lain ajaran Ibn al-‘Arabi (w. 1240 M),
‘Abd al-Qadir al-Jailani (w. 1166 M) yang ajarannya menjadi dasar Tarekat
Qadiriyah, ‘Abd al-Qahir al-Suhrawardi (w. 1167 M), Najm al-Din al-Kubra (w.
1221 M) dengan tarekatnya Kubrawiyah, Abu al-Hasan al-Syadzili (w. 1258 M)
dengan tarekatnya Syadziliyah, Baha’u al-Din al-Naqsyabandi (w. 1389 M) dengan
tarekatnya Naqsabandiyah, ‘Abd Allah al-Syattar (w. 1428 M) dengan tarekatnya
Syattariyah, dan sebagainya (Martin, 1985: 188). Sehingga tasawuf merupakan
sesuatu yang sangat diminati, tak terkecuali pula halnya dengan masyarakat
Banjar yang telah memiliki bibit-bibit ketasawufan tersebut. Lebih dari itu,
Islam yang masuk yang berkembang di Indonesia sendiri menurut para ahli adalah
Islam yang bercorak tasawuf (Yunasir, 1987: 94).
[37] . Tidak
diketahui secara pasti memang kapan tahun meninggalnya, namun diperkirakan
antara tahun 1782-1790 M, dalam usian enampuluh tahunan. Tahun ini penulis
dasarkan pada catatan tahun pertama kali kedatangannya (1772 M) dan tahun
pemindahan makamnya. Di mana semula ia dikuburkan di pemakaman Bumi Kencana
Martapura, namun oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari kemudian, bersamaan
dengan pemindahan makam Tuan Bidur, Tuan Bajut (isteri dari Syekh Muhammad
Arsyad), dan Aisyah (anaknya Tuan Bajut), makamnya kemudian dipindahkan ke desa
Karangtangah (sekarang masuk wilayah desa Tungkaran Kecamatan Martapura) pada
pada hari Selasa, 2 Rabiul Awal 1208 H (1793 M). Karena itu bisa diperkirakan bahwa,
dihitung dari tahun pertama kedatangan hingga wafatnya, Abdul Wahab telah
bahu-membahu dan memperjuangkan dakwah Islam mendampingi Syekh Muhammad Arsyad
di tanah Banjar sekitar 10-15 tahun.
Ada pula yang menyatakan bahwa,
Abdul Wahab setelah lama berkiprah di Tanah dan kerajaan Banjar serta sesudah
kedua anaknya yakni Fatimah dan Muhammad Yasin dewasa, ia kemudian pulang dan
meninggal di kampung halamannya Pangkajene, Sulawesi Selatan (Zamam, 1978: 13).
Namun, Berdasarkan catatan
pemindahan makamnya yang sampai sekarang masih disimpan oleh Abu Daudi, dapat
disimpulkan bahwa Syekh Abdul Wahab Bugis sebenarnya tidak pulang ke daerah
asalnya tetapi meninggal lebih muda dari Syekh Muhammad Arsyad. Karena itu data
ini lebih kuat dari yang dikatakan oleh Zafri Zamzam bahwa Syekh Abdul Wahab
Bugis pulang ke daerah asal beliau (Pangkajene) dan meninggal di sana. http://tarbiyyahibnumasran.blogspot.com/2007/06/mengenali-tokoh-ulama-banjar.html
[38] . ”Muhammad Nafis”, ensiklopedi islam, II, 616; Abdullah, ”syekh muhammad nafis”,108. Lihat
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning,
Pesantren, Dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam Di Indonesia., (bandung:
anggota IKAPI, 1999). Hal. 64-66).
[39] . Ditulis di Mekah pada 1200H/1785 M,
Muhammad Nafis berpendapat bahwa kesaan Tuhan (tauhid) terdiri atas 4 tahap:
tauhid al-af’al (keesaan perbuatan Tuhan), tauhid as-siffah (kesaan sifat-sifat
Tuhan), tauhid al-asma’ (kesaan nama-nama Tuhan), dan tauhid az-zat (keesaan
esensi Tuhan). Pada tahap tertinggi, tauhid az-zat para
pencari kebenaran akan mengalami fana, dan selama itu mereka akan dapat
mencapai penyaksian atau penglihatan (musyahadah) esensi tuhan. Seperti halnya
al-palimbani, Muhammad nafis percaya bahwa zat tuhan tidak dapat diketahui
melalui pancaindera dan akal. Ia hanya dapat ditangkap dengan kasyf (intuisi
langsung). Hanya saja, untuk mencapai tahap kasyf itu, Muhammad an-nafis
menekankan pentingnya kepatuhan kepada syariat, baik lahir maupun bathin.
Mustahil bagi seseorang untuk mencapai tahap itu tanpa menguatkan daya
spiritualnya dengan cara menjalankan ibadah dan kewajiban lain yang ditetapkan
syariat islam. Muhammad nafis mengacu pada karya ulama, baik dari kalangan yang
berorientasi kepada syariat seperti al-ghzali maupun yang berorientasi mistis
filosofis seperti ibnu arabi. Ensiklopedi
Tematis… jilid 5. hal. 154-155.
[40] . abdullah,”syekh muhammad nafis”,110.
[41] . usman, urang banjar, 60; ”muhammad nafis”, ensiklopedi islam,
615; mansur, kitab ad-durun nafis, 4.
0 komentar:
Posting Komentar